Agile Coach: Peran Kantor Abad 21

Versi singkat opini ini:

  • Kita semua tahu, orang yang lebih bahagia:
    • berkerja lebih baik,
    • lebih tahan melewati masa-masa buruk,
    • lebih peduli dengan visi-misi organisasi,
    • lebih tertarik dengan inisiatif pengembangan diri.
  • Penelitian menunjukan, kita bahagia saat kita bersama-sama:
    • saling memberi/menerima apresiasi,
    • saling memberi/menerima hadiah,
    • saling meminta/menawarkan/memberi/menerima bantuan,
    • makan makanan sehat,
    • berolahraga,
    • tidur cukup,
    • bereksperimen melakukan hal baru,
    • berada di alam bebas,
    • bermeditasi,
    • bercengkrama/bersosialisasi dengan rekan,
    • berkerja mengejar tujuan yang sama,
    • saling berbagi senyum. 🙂
  • Namun faktanya, karena kesibukan pekerjaan, kebahagiaan pribadi dan tim sering luput untuk kita jaga—malah tidak jarang dikorbankan.
  • Perusahaan-perusahaan inovatif menjadi pionir untuk peduli dengan hal-hal tersebut.
  • Google baru-baru ini melahirkan program meditasi terkenal bernama Search Inside Yourself.
  • Di framework pengembangan software populer bernama Scrum, salah satu tugas utama peran Scrum Master adalah menghilangkan penghambat & mendorong inisiatif pengembangan diri ke tim.
  • Di setiap tim kecil di Spotify, ada setidaknya satu orang yang berperan menjadi motor kebahagiaan dan pertumbuhan diri anggota tim.
  • Peran tersebut bernama agile coach.
  • Segera cari orang yang berpotensi menjadi agile coach di organisasi anda, lalu berikan artikel ini ke dia.

Berikut versi (sedikit) lebih panjangnya:

Apa Itu Agile Coach?

Agile coach adalah sebuah peran di kantor, yang tugasnya adalah membantu individu, tim, dan perusahaan untuk berkerja lebih tangkas.

Karena judulnya ‘peran’ bukan ‘jabatan’, maka peran agile coach bisa diisi oleh siapapun tanpa melepas jabatan sehari-harinya.

Lebih lengkapnya, tonton video berikut.

Ini Kisah Nyata Saya

Di tahun 2015, di ruang santai sebuah software house (perusahaan pembuat software pesanan) di Jakarta, saya membagikan kartu remi dengan tegang. Saya ingin kartu As hati terambil oleh Akbar—bukan nama sebenarnya.

Kami—saya sebagai agile coach dan empat orang developer—duduk melingkar santai. Ada yang bersila di karpet, ada yang berbaring di bean bag. Ini adalah acara Sprint Retrospective, acara 1-2 jam, rutin tiap dua minggu sekali. Tujuan akhir acaranya adalah menemukan aksi perbaikan untuk dieksperimenkan tim dua minggu ke depan—juga mengevaluasi aksi perbaikan dua minggu sebelumnya.

Saya biasa membuka Sprint Retrospective dengan game singkat. Setidaknya, mereka jadi tertawa bersama. Syukur-syukur, ikatan emosional mereka jadi lebih erat. Karena kebetulan jumlah developernya empat, kali ini saya memainkan salah satu varian dari game “Kartu Curhat”. Empat kartu diacak untuk empat orang. Pemegang kartu hati harus menceritakan sejarah lengkap & berkesan tentang percintaannya, keriting tentang keluarganya, sekop tentang karirnya, dan tempe tentang sekolahnya. Intinya menggunakan kartu remi, untuk memaksa seluruh anggota tim berbagi hal-hal yang mendalam tentang hidup masing-masing.

Kartupun saya acak.

Saya yakin diam-diam kami semua—selain Akbar tentunya—ingin Akbar mendapat kartu hati. Kami ini memang selalu tertawa melihat Akbar marah-marah salah tingkah, saat mantannya yang psikolog itu kita singgung.

Dan…

…siang hari bolong itu pecah dengan tawa keras kita berlima. Akbar dapat kartu hati! Padahal, sumpah, saya tidak mengatur pembagian kartunya.

“Tuh kan, feeling gue udah jelek nih dari awal”, kata Akbar, sambil membaringkan badan gempalnya di karpet—setelah tertawa terpingkal-pingkal.

Dan kita semua terhibur dengan cerita cinta Akbar, dari SD sampai yang terbaru.

Tidak hanya itu, salah satu dari mereka bahkan bercerita pilihan hidupnya untuk tidak punya agama. Sebagaimana kebanyakan programmer, sehari-hari dia tidak ekspresif dan tidak suka ikut campur urusan orang lain. Takjub kami melihat dia panjang lebar bercerita tentang masa lalunya. Mungkin dia nyaman. Mungkin dia pikir kami tidak akan menghakimi dia. Dan memang benar, kami tidak menghakimi dia atas keputusannya. Selepas game ini, justru kami jadi makin sayang dengan dia—bukan karena dia tidak punya agama, tapi karena dia percaya kami untuk berbagi kisah kesulitan hubungan dia dengan keluarganya.

Mengingat ekspresi bahagia mereka saat bermain game, saya jadi ikut bahagia. Padahal hanya satu bulan sekantor dengan mereka.

Kenangan saya di klien-klien coaching lain juga ikut terlintas:

lia-stress

Game-game lucu bersama teman-teman di Astra Credit Companies (ACC). NB: Khusus ini, ACC adalah klien PT. Scrum Asia Pasifik. Waktu itu saya masih berkerja di sana.

Perbaikan Diri

Aksi perbaikan personal teman-teman di Infokes.

Lucunya hukuman topi kertas, saat eksperimen perbaikan tim dengan Pomodoro di 7Langit.

Oh iya, budaya tim bukanlah sekedar tawa atau kualitas hubungan orang-orang di dalamnya, budaya tim adalah juga tentang bagaimana mereka bekerja bersama—komunikasi termasuk di dalamnya.

Artinya, agile coach—sebagai jangkar dari budaya tim—juga perlu banyak tahu tentang teknik-teknik manajemen tim. Agile coach lalu terus mendorong serta menemani, dalam perjalanan perbaikan cara kerja mereka.

“Memastikan level kebahagiaan anggota tim? Lalu memfasilitasi teman-teman untuk mengembangkan diri, meningkatkan performa mereka, cara kerja mereka? Damn I love this job!”

Ini Kisah Nyata Mereka

Spotify

Berikut kutipan langsung dari tulisan Joakim Sunden, seorang agile coach di Spotify:

“Apa yang seorang agile coach lakukan di Spotify?” Itu adalah pertanyaan yang paling sering diajukan saat ada study tour di kantor, atau saat kita bicara di konferensi. Itu sebenarnya pernyataan yang sangat bagus, karena membuat kita berpikir tentang pekerjaan kita dan mengapa kita memilih cara kerja seperti ini.

Ketika saya bergabung ke Spotify di Agustus 2011, jabatan saya adalah “Scrum Master”. Iklan lowongan pekerjaannya saat itu serupa dengan lowongan agile coach saat ini. Selain kata “agile coach” dan “Scrum Master” tentunya.

Agile coach di Spotify ada untuk melatih dan memudahkan tim pengembang. Kami membangun lingkungan yang berfokus pada perbaikan yang berkelanjutan dan tujuan semua orang adalah menghantarkan software yang keren secepat mungkin sembari bersenang-senang.

Sebagai agile coach dari Spotify kamu amat menyenangi komunikasi, dinamika grup, dan konseling. Kamu tidak akan takut untuk mengangkat masalah dan mendorong perubahan demi menghilangkan penghambat tim. Kamu akan berkerja bersama insinyur-insinyur kelas dunia yang mencintai pekerjaan mereka–dan berharap kamu juga seperti itu.

Kamu sebaiknya tidak pernah puas untuk belajar hal baru atau memperbaiki apa yang sudah ada. Kalau kamu tepat buat kita, kamu akan peduli sampai level detail dan bangga dengan hasil kerja kamu.

Yang membuat saya senang, deskripsi di atas benar-benar cocok dengan apa yang saya lakukan sekarang, yaitu campuran dari membimbing tim, memotori perubahan organisasi, mengasah kemampuan people-skill, sekaligus menjadi mentor dan agen perubahan.

spotifycoach

Grovo

Grovo adalah perusahaan yang didaulat sebagai tempat kerja terbaik versi NY Tech Award. Saat pegawai mereka masih berjumlah 40 orang, mereka sudah memiliki unit khusus bernama talent team—yang dari deskripsinya, bisa disebut tim agile coach yang full-time. Berikut kutipan langsung dari CEO Grovo, Jeff Fernandez:

Jadi kita sudah sepakat kalau budaya yang baik datang dari nilai-nilai yang otentik. Tapi, kalau kamu ingin menjaga budaya tersebut saat perusahaan kamu membesar, kamu butuh satu talent team yang bagus—yang bisa menjaga suasana perusahaan kamu sebagai tempat yang spesial.

Strategi ini berkerja dengan baik di Grovo. Saat masih berjumlah 40 orang Grovo sudah membentuk talent team—jauh lebih dini dibanding kebanyakan perusahaan. Dan terbayar memang investasinya. Sifat-sifat yang kita inginkan dari orang-orang Grovo sepintas terlihat bertolak belakang: percaya diri tapi rendah hati, pekerja keras tapi menyenangkan, berani terbuka tapi baik hati. Dengan bantuan dari talent team yang hebat, kami bisa selalu mendapatkan orang-orang yang benar-benar menghidupi sifat-sifat tersebut, di setiap fase-fase pertumbuhan kami.

Lebih dari mencari orang baru. Talent team kamu juga berkerja sebagai prajurit baris depan perihal budaya perusahaan. Mereka benar-benar memahami budaya apa yang dibutuhkan oleh tipe bisnis kamu. Mereka juga selalu aktif mengeluarkan orang-orang yang mungkin kompeten, tapi jelas-jelas merusak karakter tempat kerja kamu.

Google

Chade-Meng Tan, salah satu insinyur-insinyur pertama di Google, mengadakan eksperimen meditasi yang sukses di Google. Berkat kesuksesan tersebut, beliau mendirikan Search Inside Yourself Leadership Institute (SIYLI.org) untuk menyebarkan tekniknya, dan mencetak banyak guru internal di perusahaan-perusahaan klien—coach internal yang menetap memang dibutuhkan. Rentang kliennya amat luas, mulai dari SAP, Schlumberger, sampai Ford.

Di Intel, 9 minggu program SIYLI.org terbukti meningkatkan kebahagiaan individu secara umum, kejernihan pikiran, kreativitas, jumlah ide-ide baru, kemampuan untuk fokus, dan juga mengurangi tingkat stress.

Lyssa Adkin

Sebagaimana yang bisa dibaca di tautan di bagian Spotify di atas, penulis buku Coaching Agile Teams, Lyssa Adkin, medeskripsikan peran agile coach sebagai berikut:

Seseorang yang mengapresiasi kedalaman dari praktek-praktek dan prinsip-prinsip agile dan bisa membantu tim mengapresiasinya juga.

Seseorang yang sudah pernah menghadapi naga besar, penghambat level organisasi, dan pernah menjadi coach dari manajer dan orang-orang pihak luar lain.

Seseorang yang bisa meyakinkan pihak manajemen di segala level untuk mengerti manfaat dari berkerja secara agile.

Seseorang yang sudah mengerti ide dari fasilitator, coaching, manajemen konflik, meditasi, ruang teater, dan pelbagai hal, untuk membantu tim memiliki performa yang tinggi—sebagaimana tim ideal yang ada dalam imajinasi anda.

Kesimpulan

Era baru sudah tiba. Di awal abad 21, muncul antitesis yang merespon sisi jelek dari industrialisme—keajaiban abad 19 & 20. Perusahaan-perusahaan yang memang memiliki DNA inovasi, menjadi pionir dalam

  • memperhatikan kebahagiaan pegawai yang lebih hakiki,
  • memfasilitasi pegawai-pegawai untuk tumbuh secara berkelanjutan,
  • tangkas (cepat, fleksibel, dan tanpa henti) dalam bereksperimen dengan teknik-teknik kerja baru, baik di level tim terkecil maupun satu kesatuan organisasi.

Perusahaan-perusahaan yang lebih konvensional seperti SAP dan Schlumberger bahkan sudah mulai ikut.

Kamu?

 

Langkah Kamu Selanjutnya

Tebakan saya, demografi dari mayoritas pembaca artikel ini adalah:

  • Chief atau manajer dari divisi pengembangan software—Scrum Master termasuk, karena dia adalah peran manajerial.
  • Scrum Master yang mulai sadar, kalau tugas dia lebih dari sekedar memastikan aturan-aturan di Scrum berjalan.
  • Developer yang tertarik dengan isu-isu manajerial dan budaya perusahaan.
  • Senior developer (technical coach) yang sedang belajar ilmu coaching.
  • Orang HR/HC.

Jika kamu tertarik ingin jadi lebih baik di topik-topik di artikel ini. Saran saya:

  1. Bagikan artikel ini ke rekan-rekan yang tertarik. Berdiskusilah dengan mereka.
  2. Daftarkan email aktif kamu di newsletter AgileCampus.org di sini & di sini—jangan lupa menaruhnya di primary inbox.
  3. Kirim email ke rizky@agilecampus.org.
    1. Gambarkan tim dan organisasi ideal menurut kamu itu seperti apa.
    2. Ceritakan satu masalah yang paling menghambat kamu menuju versi ideal itu.

Terima kasih yang teramat dalam, atas waktu yang diluangkan untuk tulisan & video saya ini. Semoga bermanfaat. Saya nanti kritik atau sarannya.

 

I was part of Agile Campus. Now focusing on something else outside of agile space.

POST A COMMENT