Jika sebelumnya saya menulis soal tangkas secara teknis, sekarang saya akan menulis soal memimpin yang tetap tangkas secara psikis. Tentu saja tulisan ini saya susun setelah hampir dua tahun mempelajari buku Emotional Agility Susan David, menyimak semua materinya baik di siniar, website dan pelatihan daringnya. Ringkasnya hasil yang saya dapat dituangkan di sini. ke-4 ketangkasan teknis yang saya tulis sebelumnya itu kan gak bisa ujug-ujug kita kuasai dengan baik to? Pasti ada gagalnya, pasti ada kepentoknya, pasti ada kekinya. Mau ini konteksnya memimpin usaha mikro, memimpin keluarga yang anggotanya cuma anak mertua, ataupun memimpin organisasi nirlaba, kita harus selalu bersedia dengan rendah hati merefleksikan beberapa hal. ATUR DULU EMOSIMU, SEBELUM MENGATUR EMOSI ORANG Tentu pasti banyak orang salah kaprah berpikir atur emosi itu berarti harus menekan-nekan kemarahan atau melampiaskan kemarahan seluas-luasnya. Pertama-tama, emosi itu bukan cuma marah. Emosi itu selain marah, ada: bahagia

Tulisan ini saya buat setelah saya menjalani wirausaha selama 10 tahun jadi bukan sekadar kata-kata kosong yang sebenarnya saya gak melakukannya. Saya sendiri tidak menjadi seorang wirausaha level usaha mikro karena saya kepengen. Saya tidak pernah sedikitpun bercita-cita wirausaha ketika saya kecil bahkan sampai saya jadi guru. Awalnya sok-sokan akhirnya ya lumayan jago lah. Untuk level usaha mikro loh ya. Tolong digarisbawahi dulu nih. Saya cuma mengkoordinir 11 karyawan, 12an vendor rekanan, puluhan klien setiap bulannya. Jadi gak banyak ya. Namun sesuai prinsip: setialah pada perkara kecil maka bisa terujilah saya ini untuk perkara besar di masa depan. Ada 4 perkara yang pemimpin usaha mikro butuh kesetiaan dan kerajinan untuk melakukannya berulang-ulang setiap hari dan bisa jadi hasilnya pun mengkhianati usaha. Apakah kalau sudah menjalani ke-4 hal ini maka usaha kita akan sukses? Tergantung definisi sukses Anda sih. Kalau memang definisi

Menghitung story points dari durasi jam selalu beresiko terjadi korupsi waktu alias dilambat-lambatkan. Biasa dikenal dengan sebutan Parkinson's Law. Memang di zaman product management sebelum Agile metode dulu akurasi dan predictability itu sesuatu yang bagus. On time, on budget itu adalah bola yang disasar. Nah pas kita sudah mencoba masuk ke Agile dan emang benar-benar mampu menerapkan value-valuenya maka di otak kita itu adalah memaksimalkan value dari product yang sedang kita kembangkan. Tentunya pengembangan produk di Agile sifatnya berkelanjutan jadi tidak ada target waktu, yang ada adalah terus menerus meningkatkan value.  Tentunya di awal-awal penerapan Agile wajar ditemukan kondisi “Oh ternyata estimasinya salah, wah ngerjain lebih cepet, waduh jadi ada waktu kosong nih" Kondisi ini sebenarnya bisa untuk mengerjakan sprint berikutnya, tugas berikutnya ditarik untuk dikerjakan karena toh tugas tersebut memang sudah didetailkan oleh Product Owner. Jadi mindsetnya udah berubah soal thrive

Apa sebenarnya pondasi untuk jadi agile? Struktur organisasi kah? atau hal lain? Di Agile Campus menurut kami pondasi penerapan sebuah perusahaan atau organisasi menjadi agile adalah budaya dan budaya ini benar-benar kuncinya dipegang sama si CEO atau apalah istilahnya alpha male or alpha female in the organization. Memikirkan struktur organisasi itu hanya jika berarti memang perubahannya itu massive banget.  Sementara itu perlu diakui, kami sendiri mengalami di kantor kantor dulu untuk transformasi ribetnya minta ampun. Nah kalau budaya itu sebenarnya  lebih simpel kalau mau mengubah cuma memang benar-benar harus datang dari dalam si CEO sehingga bisa mempermudah segalanya termasuk mempermudah perubahan struktur organisasi. Lengkapnya bisa simak di  [embed]https://www.youtube.com/watch?v=40owJJI2SqA[/embed]

Product owner wajib memastikan requirementnya itu cukup detail buat developer dan dirinya sendiri. Kedetailannya itu harus dipastikan oleh dia atau syukur-syukur product owner itu bisa dibantu oleh orang lain. Sehingga sebagai product owner, dia bisa mendelegasikan pendetailan itu ke orang lain tapi tetap yang namanya delegasi, akuntabilitas itu sebenernya ya di posisi si product owner. Lengkapnya bisa ditonton di Youtube:  [embed]https://www.youtube.com/watch?v=FI9ndphXniE[/embed]

Perihal Scrum Master bisa jadi Product Owner sebenarnya sudah pernah kami bahas di Youtube Channel kami di [embed]https://www.youtube.com/watch?v=ZVQ1dtAb9Bw[/embed] Intinya Scrum Master bisa menjadi Product Owner di saat darurat. Dia tidak mengorbankan tanggung jawab dia sebagai scrum master karena memang proses scrum udah berjalan dengan baik, komunikasi si Scrum Master ini juga sudah oke banget sampai ke posisi stakeholder. Sehingga boleh mengurangi waktu dia sebagai internal consultant buat tim scrum-nya yang udah di fase tinggal pengayaan atau fase enhancement. Scrum Master tinggal mengajarkan best practices baik sisi technical maupun sisi product. Urusan managerial dia kurangi lalu mengisi peran day to day as a product owner sementara. Mengapa Scrum Master bisa menjadi Product Owner? Sebab Scrum Guide sendiri tidak secara eksplisit menyatakan Product Owner dan Scrum Master tidak boleh satu orang yang sama. Kami sendiri di Agile Campus sebenarnya setuju praktek ini tidak baik tapi

Saya mungkin tidak berbeda dengan anda, dibesarkan dalam budaya keluarga yang serba sungkan untuk menyampaikan sesuatu tapi di lain waktu bisa dengan mudah mengeluarkan sumpah serapah hanya untuk urusan kesalahan sepele. Saya begitu terlatih menyimpan semua emosi negatif, terlihat penurut kepada orang yang saya lihat sebagai superior lalu melampiaskan semua kekesalan yang tertahan kepada pihak yang bisa saya jadikan keset (baca: inferior). Setiap kali saya merasa diperlakukan tidak adil dan saya terlalu takut untuk menyampaikan apa yang saya rasakan dengan alasan takut durhaka atau takut dianggap baper, saya pikir solusinya adalah berdoa. Tak lupa menitipkan pesan kepada Tuhan agar menjadi hakim yang seadil-adilnya. Namun akhirnya saya menyadari, mengapa apa-apa Tuhan saya seret-seret untuk campur tangan? Lah wong yang perlu terus memperbaiki cara berkomunikasi itu saya koq. Saya jadi tidak beda jauh dengan anak kecil manja yang setiap kali kecewa tidak bisa bermain dengan