Apa sebenarnya pondasi untuk jadi agile? Struktur organisasi kah? atau hal lain? Di Agile Campus menurut kami pondasi penerapan sebuah perusahaan atau organisasi menjadi agile adalah budaya dan budaya ini benar-benar kuncinya dipegang sama si CEO atau apalah istilahnya alpha male or alpha female in the organization. Memikirkan struktur organisasi itu hanya jika berarti memang perubahannya itu massive banget.  Sementara itu perlu diakui, kami sendiri mengalami di kantor kantor dulu untuk transformasi ribetnya minta ampun. Nah kalau budaya itu sebenarnya  lebih simpel kalau mau mengubah cuma memang benar-benar harus datang dari dalam si CEO sehingga bisa mempermudah segalanya termasuk mempermudah perubahan struktur organisasi. Lengkapnya bisa simak di  [embed]https://www.youtube.com/watch?v=40owJJI2SqA[/embed]

"Agile", sebuah kata abstrak multi-tafsir yang bisa menimbulkan pertentangan di sebuah organisasi. Kalau definisinya saja orang-orang masih belum sepakat, bagaimana bisa jalan? Bankwest di Australia sampai mengumpulkan seluruh pimpinan (20-an orang) di satu ruangan, dan dilarang bubar sampai sepakat akan 'Agile' versi mereka. Mudah-mudahan setelah membaca tulisan ini, Anda tidak lagi bingung. Bahkan Anda bisa dengan mudah mengajarkan definisi Agile ke orang lain. Syarat pertama adalah memahami dulu, bahwa hanya ada dua jenis mode pekerjaan di bawah kolong langit ini. Pekerjaan Kapal Ferry Kita semua tahu, sebuah Kapal Ferry ditugaskan pemiliknya untuk mengantarkan penumpang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Seperti kereta api, jadwalnya juga sudah jelas. Di tengah jalan mungkin saja ada masalah. Mungkin jalur jadi berputar sedikit — bahkan perlu singgah darurat di pelabuhan lain dulu. Tapi yang pasti, titik akhir pelabuhan tidak berubah. Kru-kru kapal dapat gaji tetap. Peluang gagal rendah, tapi — jika hanya

Pusing dengan Scrum? Ingin coba sebuah bingkai kerja Agile yang super simpel? Buat saja sebuah papan Kanban. Caranya mudah. Pertama, bayangkan langkah-langkah pekerjaan Anda—dari awal sampai akhir. Sekedar contoh, berikut langkah-langkahnya jika pekerjaannya membuat software: deciding (meriset apakah dari sisi bisnis sebuah fitur layak disegerakan), detailing (mendetailkan fitur apa yang diinginkan bisnis), developing (membuat fitur), acceptance testing (pengujian akhir sebelum rilis), deploying (rilis). Setelah dipetakan, buat sketsa papannya di kertas terlebih dahulu. Lalu. coba tentukan mana-mana saja yang waktu pengerjaannya bisa sebentar dan satu langkah. Dalam contoh ini, kita menilai hanya 'deploying' yang memenuhi kriteria tersebut. Karna selain 'deploying' dirasa tidak sebentar dan lebih dari satu langkah, buat garis pembagi di masing-masing kolom. Isi dengan 'in progress' dan 'done'—atau istilah lain yang berkesuaian. Buat aturan main seperti berikut: Perbarui papan kanban secara real-time. Masukan kartu ke 'in progress' hanya jika akan langsung dikerjakan. Artinya, jika satu

Ini adalah hukum alam: permintaan fitur hampir selalu melebihi kapasitas produksi developer. Artinya, seorang Product Owner (PO) harus bisa menolak, dan membuat paham & tenang orang-orang yang permintaannya ditolak. Bagaimana? Ada banyak cara, tapi yang utama adalah transparansi Product Backlog (PB). Contoh Kasus Anda adalah pimpinan tim entri data di perusahaan. Sekarang adalah awal bulan. Tim Anda punya target  A di setiap akhir bulan. Dengan cara manual saat ini, tim Anda butuh waktu kurang lebih dua minggu untuk menyelesaikan target A—masih sangat aman sebenarnya. Muncul ide fitur baru, yang bisa mempersingkat pengerjaan target A dari 2 minggu menjadi 3 hari. Setelah dihitung-hitung, Anda butuh fitur X, selesai selambat-lambatnya di petengahan minggu kedua bulan ini. Kenapa? Karena jika ternyata ada masalah, masih ada minggu ketiga & keempat untuk entri data dengan cara lama. Anda datang ke PO, beliau menolak. Sebelum Anda melobi, PO menunjukkan PB

Saya mungkin tidak berbeda dengan anda, dibesarkan dalam budaya keluarga yang serba sungkan untuk menyampaikan sesuatu tapi di lain waktu bisa dengan mudah mengeluarkan sumpah serapah hanya untuk urusan kesalahan sepele. Saya begitu terlatih menyimpan semua emosi negatif, terlihat penurut kepada orang yang saya lihat sebagai superior lalu melampiaskan semua kekesalan yang tertahan kepada pihak yang bisa saya jadikan keset (baca: inferior). Setiap kali saya merasa diperlakukan tidak adil dan saya terlalu takut untuk menyampaikan apa yang saya rasakan dengan alasan takut durhaka atau takut dianggap baper, saya pikir solusinya adalah berdoa. Tak lupa menitipkan pesan kepada Tuhan agar menjadi hakim yang seadil-adilnya. Namun akhirnya saya menyadari, mengapa apa-apa Tuhan saya seret-seret untuk campur tangan? Lah wong yang perlu terus memperbaiki cara berkomunikasi itu saya koq. Saya jadi tidak beda jauh dengan anak kecil manja yang setiap kali kecewa tidak bisa bermain dengan

Ibu Silvana Wasitova adalah teladan bagi profesional Indonesia. Besar di Indonesia, Bu Silvana pernah jadi Project Manager & Agile Coach di Silicon Valley & Eropa. Silahkan baca Linkedin Bu Silvana untuk lebih detailnya. Apa kunci pencapaian Bu Silvana? Tidak lain dan tidak bukan adalah belajar. Lebih tepatnya, belajar tiada henti. Okay. The devil is in the details, maka pertanyaan berikutnya: seperti apa metode belajar seperti yang efektif? Hanya Satu: Praktik Langsung Teknik belajar yang efektif adalah pratik langsung. Membaca buku bisa membantu orang mendapatkan ide. Tapi ide akan menguap jika tidak dipraktikkan. Mempraktikkan ide-ide baru akan lebih mudah jika didampingi oleh coach. Ada banyak konteks & nuansa di lapangan yang terlewat oleh buku--sebagus apapun bukunya. Di situlah pentingnya peran konsultan eksternal atau peran manajer yang juga seorang coach. Studi Kasus Mungkin ada yang menduga pendapat Bu Silvana di atas cukup bias. Karena profesi beliau sekarang sebagai Entreprise Agile Coach. Jika

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Medium Organisasi Agile. Langgan publikasi tersebut untuk membaca tulisan Rizky lebih awal dari yang lain. Ya, Agile memang aneh — dan manjur. Buku yang ditulis tahun 1987 telah menjelaskan kenapa. Kenapa Agile? Tepat saat esai ini ditulis, warga Indonesia sedang berada di atas ombak transformasi digital: pembayaran online. Promo Gopay & OVO ada di mana-mana. Cukup scan QR code, pembayaran beres. Transfer dana cukup pakai nomor telepon. Tujuan akhirnya, akan seperti yang Dahlan Iskan rasakan saat bayar ke pedangan kaki lima di Cina: bayar dengan uang cash dianggap aneh. Ombak transformasi digital ini bukan yang pertama & terakhir. Sebelum perihal pembayaran, ada Whatsapp dengan grupnya, ada Gojek & Grab dengan kemudahan transportasinya. Setelah pembayaran, entah apa lagi yang akan didigitalisasi. [caption id="" align="aligncenter" width="460"] Kaum Luddite muncul di awal abad 19 dengan satu tujuan: menghancurkan mesin-mesin yang mencuri pekerjaan mereka di pabrik. Ingat demo supir taksi Bluebird